Thursday, May 14, 2015

Wajib nggak mengumpulkan rambut/kuku saat haid/junub ?

Sebelum nya gini, pembahasan ini sebenarnya sederhana dan simple , kamu pilih hukum yang mana, ya itu dijalani, tapi kalau di jabarkan lebih lanjut, dan mengambil fatwa yang lain ya terserah, monggo
Wajib nggak mengumpulkan rambut/kuku saat haid/junub ?

Menurut keterangan orang tua :

Yo sing apik dikumpulke wae, mengko nak wayahe ados ( junub ) di ikutkan.
jangan harap dapat jawaban bagus ketika kamu tanya kenapa? sudah jelas jawaban nya bakalan gini :  yo pokok e ngunu, anut wong tuo , ra sah mbantah ..!

keterangan dari Imam Ghozali di kitab ihya'ulumuddien , yang telah saya olah menjadi penjelasan yang mudah di pahami :


وَلا يَنْبَغِي أَنْ يَحْلِقَ أو يَقْلِمَ أو يَسْتَحِدَّ أو يُخْرِجَ الدَّمَّ أو يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ تُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فِي الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا (إحياء علوم الدين –  ج 2 / ص 51 )
“Dan tidak seyogyanya bagi seseorang untuk mencukur rambut, memotong kuku, memotong bulu kemaluan, mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam) ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status jinabatnya.”

Rambut atau kuku atau anggota tubuh lain nya yang belum sempat ikut dimandikan besar (junub) suatu saat nanti di akhirat kelak akan di panggil oleh Allah dan akan menuntut si empunya dan menanyak perihal kenapa dulu ia ( kuku/ rambut dll ) tidak ikut dimandikan junub?.

Boleh saja memotong kuku/rambut dll, asalkan dikumpulkan lalu ikut di mandikan saat mandi besar ( junub ), bahkan seorang wanita yang mengalami menstruasi diwajibkan mengumpulkan helaian rambutnya yang rontok lho, nanti saat mandi junub di ikut sertakan dibasuh,

Keterangan dari kitab Kifayathul akhyar : I'anatuttalibien :

Ada dalil yang di gunakan oleh sebagian ‘ulama dalam membenarkan persoalan tsb sehingga dalam mandi wajib, wanita haid diharuskan meratakan air ke seluruh tubuh hingga rambut, termasuk rambut yang rontok sebelum seseorang mandi wajib (Kifayatul Akhyar, I/39; I’natuth Thalibin, I/75).

Dalilnya adalah hadis Nabi saw.,”Barangsiapa meninggalkan tempat (selubang) rambut dari mandi janabah yang tidak dibasuh, maka akan diberlakukan begini begini di neraka.” (HR Abu Dawud).
Karena itu, rambut termasuk yang harus dibasuh dalam mandi wajib. Termasuk yang rontok sebelum mandi wajib.
Sebagian ulama menganggap hadis ini dhaif (lemah) sehingga tidak layak menjadi hujjah dan sementara itu sebagian ulama lainnya menganggap hadis itu bukan hadis dhaif.
Kemungkinan perbedaan pendapat bisa saja muncul karena sebab-sebab seperti yang diterangkan di atas. Yaitu karena berbeda penilaian terhadap hadis, atau berbeda dalam memahami pengertian hadis.

Teks – teks kitab yang redaksinya serupa dengan redaksi kitab Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien.
a) Kitab Asna al-Mathōlib Syarh Raudl at-Thālib (juz: 01, hal: 284)
    ( فَرْعٌ ) قَالَ الغَزَالِي: لاَ يَنْبَغِي لِلجُنُبِ أَنْ يُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ أَجْزَائِهِ أَوْ دَمِهِ قَبْلَ غُسْلِهِ إِذْ يُرَدُّ إِلَيْهِ فِي الآخِرَةِ جُنُبًا وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا (أسنى المطالب شرح روض الطالب: ج 1 / ص 284 )
    [ cabang masalah] Imam al-Ghazali berkata: tidak seyogyanya bagi orang junub untuk menghilangkan (dengan cara mencukur, memotong, dll. pen-) sebagian dari anggota tubuhnya, atau mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam) sebelum mandi besar (junub). Dikarenakan, kelak di akhirat akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status jinabatnya.” (Asna al-Mathōlib Syarh Raudl at-Thālib. Juz: 01, hal: 284)

    b) Kitab Mughni al-Muhtāj (juz: 01, hal: 75)
      (فَائِدَةٌ) قَالَ فِي الإِحْيَاءِ: لاَ يَنْبَغِي أَنْ يَقْلِمَ أو يَحْلِقَ يَسْتَحِدَّ أو يُخْرِجَ دَمًّا أو يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ يُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فِي الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا (مغني المحتاج: ج 1 / ص 75)
      (faidah) telah berkata di dalam kitab Ihya’: tidak seyogyanya bagi seseorang untuk memotong kuku, mencukur rambut, memotong bulu kemaluan, mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam) ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status jinabatnya.” (Mughni al-Muhtāj. Juz: 01, hal: 75)

      c) Kitab Hāsiyah al-Qolyubi (juz: 01, hal: 78)
        ( فَائِدَةٌ ) قَالَ فِي الإِحْيَاءِ: لَا يَنْبَغِي للإِنْسَانِ أَنْ يُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ شَعْرِهِ أَوْ يَقُصَّ شَيْئًا مِنْ ظُفْرِهِ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يُخْرِجَ دَمًّا أَوْ يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ سَائِرُ أَجْزَائِهِ تُرَدُّ إِلَيْهِ فِي الآخِرَةِ فَيَعُوْدُ جُنُبًا، وَيُقَالُ : إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا انتهى (حاشية قليوبي: ج 1 / ص 78)
        (faidah) telah berkata di dalam kitab Ihya’: tidak seyogyanya bagi seseorang untuk menghilangkan (mencukur) sebagian rambutnya, memotong kuku-kukunya, mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam) ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status jinabatnya.” (Hāsiyah al-Qolyubi. Juz: 01, hal: 78)

        d) Kitab Hāsiyah al-Jamal (juz: 01, hal: 486)
          قَالَ فِي الإِحْيَاءِ: وَيَنْبَغِي لِلإِنْسَانِ أَنْ لَا يُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ شَعْرِهِ أَوْ يَقُصَّ أَظَافِرَهُ أَوْ يَحْلِقَ رَأْسَهُ أَوْ عَانَتَهُ أَوْ يُخْرِجَ دَمًّا أَوْ يُبِيْنَ جُزْءًا مِنْ نَفْسِهِ وَهُوَ جُنُبٌ لِأَنَّ جَمِيْعَ أَجْزَائِهِ تُرَدُّ إِلَيْهِ فِي الآخِرَةِ وَيُبْعَثُ عَلَيْهَا فَتَعُوْدُ بِصِفَةِ الجَنَابَةِ وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا (حاشية الجمل على المنهج لشيخ الإسلام زكريا الأنصاري: ج 1 / ص 486)
          Telah berkata di dalam kitab Ihya’: dan seyogyanya bagi seseorang agar supaya tidak menghilangkan (mencukur) sebagian bulu-bulu tubuh, memotong kuku-kukunya, mencukur rambut kepala atau bulu kemaluan, mengeluarkan darah (semisal dengan cara berbekam) ataupun memotong sebagian anggota tubuhnya pada saat dirinya sedang dalam keadaan junub. Dikarenakan, kelak di akhirat seluruh anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, dibangkitkan kembali, maka kondisinya pun dalam keadaan junub. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut dirinya akan status jinabatnya.” (Hāsiyah al-Jamal. juz: 01, hal: 486)

          e) Kitab Fath al-Mu’īn (hal: 11)
            (فَرْعٌ) وَيَنْبَغِي أَنْ لاَ يُزِيْلُوا قَبْلَ الغُسْلِ شَعْرًا أَوْ ظُفْرًا وكَذَا دَمًّا لِأَنَّ ذَالِكَ يُرَدُّ فِي الآخِرَةِ جُنُبًا (فتح المعين: ص 11)
            [ cabang masalah] dan seyogyanya mereka (orang junub, wanita haid dan nifas) agar supaya tidak menghilangkan rambut, kuku, juga darah, sebelum mandi wajib. Oleh karena, kesemuanya itu kelak akan dikembalikan lagi di akhirat dalam keadaan junub.” (Fath al-Mu’īn. hal: 11)
            2. Teks – teks kitab yang redaksinya berbeda dengan redaksi kitab Ihya’ al-‘Ulūm ad-Dien.
            Berikut ini adalah kutipan masing-masing dari teks-teks kitab ulama madzhab Syafi’i yang menyatakan kesunahan, dan redaksi yang di pakai adalah “يُسَنُّ” atau “نُدِبَ” (yang artinya: di sunnahkan), tidak lagi menggunakan kata “لا يَنْبَغِي” (la yanbaghi). Kesunahan yang dikehendaki adalah kesunahan untuk supaya tidak menghilangkan sebagian anggota tubuh di waktu sedang berhadats besar, baik penghilangan tersebut dengan semisal mencukur rambut kepala, bulu kumis, berbekam, memotong kuku ataupun dengan cara yang lain.
            Adapun penyebutan kutipan-kutipan ini, adalah kami maksudkan untuk memperoleh sebuah gambaran dari ketegasan atau kemantapan hukum, dan agar supaya redaksinya kitab  Ihya’ yang menyatakan “لا يَنْبَغِي” (la yanbaghi) tidak dipahami sebagai hukum keharaman secara mutlak.
            a) Kitab Hāsiyah as-Syarqāwi (juz: 01, hal: 74)
            وَيُسَنُّ كَمَا قَالَ فِى الِإحْيَاءِ لِمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمًّا وَشَعْرًا وَظُفْرًا حَتَّى يَغْتَسِلَ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِى الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا تَبْكِيْتًا لَهُ ثُمَّ يَزُوْلُ عَنْهُ مَاعَدَا الأَجْزَاءَ الأَصْلِيَّةَ وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا (حاشية الشرقاوى: ج 1 / ص 74 )
            Dan disunahkan―sebagaimana telah dikatakan di dalam kitab Ihya’―bagi orang berkewajiban mandi besar, agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya, walaupun berupa darah, rambut, dan kuku, sehingga dirinya mandi wajib terlebih dulu. Sebab, kelak di akhirat seluruh bagian anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub, untuk mengecam dengan keras dirinya. Lantas organ-organ tubuh tersebut yang tersisa hanyalah organ yang asli. Seraya dikatakan bahwa sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status jinabatnya.” (Hāsiyah as-Syarqāwi. Juz: 01, hal: 74)
            b) Kitab Fathu al-‘Allām (juz: 01, hal: 349)
            يُسَنُّ لِمَنْ ذُكِرَ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمًّا أَوْ شَعْراً أَوْ ظُفْراً قبل الْغُسْلِ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِى الآخِرَةِ. لَكِنَّ الأَجْزَاءَ الأَصْلِيَّةَ البَاقِيَةَ مِنْ أَوَّلِ العُمْرِ إِلَى آخِرِهِ تَعُودُ مُتَّصِلَةً. وَأَمَّا نَحْوُ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ الّذِيْ أُزِيْلَ قَبْلَ المَوْتِ، فَيَعُودُ لَهُ إِلَيْهِ مُنْفَصِلاً عَنْ بَدَنِهِ، فَلَوْ أَزَالَهُ قَبْلَ الْغُسْلِ عَادَ، وَعَلَيْهِ الحَدَثُ الأَكْبَرُ لِتَبْكِيْتِهِ أَيْ تَوْبِيْخِهِ حَيْثُ أُمِرَ بِأَنْ لَايُزِيْلَهُ حَالَةَ الجَنَابَةِ أَوْ نَحْوِهَا. وَيُقَالُ: إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا. وَيَنْبَغِي كَمَا قَالَ الشَّبْرَامُلْسِى: أَنَّ مَحَلَّ ذَلِكَ حَيْثُ قَصَّرَ كَأَنْ دَخَلَ وَقْتُ الصَّلَاةِ وَلَمْ يَغْتَسِلْ وَإِلَّا فَلَا، كَأَنْ فَجَأَهُ المَوْتُ. (فتح العلام: ج 1 / ص 349)
            Bagi orang-orang yang telah disebutkan (yakni orang junub, wanita haid dan nifas), agar supaya tidak menghilangkan  sebagian dari anggota tubuhnya, walaupun berupa darah, rambut, atau kuku, sebelum melaksanakan mandi wajib. Dikarenakan, semua anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi kepadanya, di akhirat kelak. Akan tetapi, anggota tubuh yang asli, yang masih utuh semenjak permulaan kelahiran sampai meninggal, dikembalikan lagi dalam keadaan tersambung. Sedangkan semisal rambut dan kuku, yang sempat ia potong sebelum meninggal, dikembalikan lagi dalam keadaan terpisah dari tubuhnya. Jadi, andaikan ia hilangkan (potong) sebelum mandi wajib, maka akan dikembalikan lagi dalam kondisi menanggung hadats besar, untuk mengecam dengan keras dirinya, karena telah ceroboh melanggar perintah supaya tidak menghilangkannya (memotongnya) pada saat jinabat. Seraya dikatakan, sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status jinabatnya. Seyogyanya―sebagaimana dikatakan oleh Imam as-Syubromulsi―bahwa kecaman keras tersebut berlaku bagi orang yang ceroboh, sebagaimana waktu sholat telah masuk dan dirinya belum mandi wajib―dan jika tidak ceroboh, maka tidak dikecam―lantas ajal menjemput secara mendadak. (Fathu al-‘Allām .juz: 01, hal: 349)
            c) Kitab Busyro al-Karim (juz: 01, hal: 39)
            وَنُدِبَ لِنَحْوِ جُنُبٍ أَنْ لَايُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ بَدَنِهِ إِلَّا بَعْدَ الْغُسْلِ لِأَنَّ الْأَجْزَاءَ تَعُوْدُ اِلَيْهِ فِي الآخِرَةِ فَيَعُودُ جُنُبًا تَبْكِيْتًا لَهُ ثُمَّ تَزُولُ عَنْهُ مَا عَدَا الْأَجْزَاءَ الْأَصْلِيَّةَ  وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجَنَابَتِهَا. (بشرى الكريم: ج 1 / ص 39)
            Dan disunahkan bagi semisal orang yang sedang junub agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya kecuali setelah selesai mandi wajib. Sebab, kelak di akhirat seluruh bagian anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi, maka kondisinya pun dalam keadaan junub, untuk mengecam dengan keras dirinya. Lantas organ-organ tubuh tersebut yang tersisa hanyalah organ yang asli. Seraya dikatakan, sesungguhnya setiap helai rambut menuntut akan status jinabatnya. (Busyro al-Karīm. Juz: 01, hal: 39)

            d) Kitab Nihayah az-Zain (hal: 31)
            وَمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ يُسَنُّ لَهُ أَلَّا يُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمّاً أَوْ شَعْراً أَوْ ظُفْراً حَتَّى يَغْتَسِلَ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِي الآخِرَةِ فَلَوْ أَزَالَهُ قَبْلَ الْغُسْلِ عَادَ عَلَيْهِ الحَدَثُ الأَكْبَرُ تَبْكِيْتاً لِلشَّخْصِ. (نهاية الزين: 31)
            Barangsiapa berkewajiban mandi besar, maka disunahkan agar supaya tidak menghilangkan sebagian dari anggota tubuhnya walaupun berupa darah, rambut, atau pun kuku, kecuali setelah selesai mandi besar. Oleh karena setiap anggota tubuhnya akan dikembalikan lagi kelak di akhirat. Jadi, andaikan ia hilangkan sebelum mandi besar maka kembali pula hadats besarnya, untuk mengecam dengan keras dirinya. (Nihayah az-Zain. Hal: 31)

            KESIMPULAN-KESIMPULAN ( Saya ambil dari situs PP.MUS Sarang )
            1-Setelah menelusuri beberapa refrensi utama kitab-kitab Syafi’iyyah sebagaimana yang telah penulis kelompokkan di atas—walaupun sebenarnya masih banyak kitab-kitab Syafi’iyyah yang belum penulis telaah—penulis belum memukan satu pun pendapat yang menghukumi haram pemotongan kuku atau mencukur rambut di saat seseorang dalam kondisi hadats besar
            .
            2-Redaksi kitab Ihya’ yang berbunyi وَلا يَنْبَغِي yakni, sighot yang dalam penggunaannya  memiliki dua kemungkinan arti, bisa berarti haram ataupun makruh tinggal melihat indikasi (qorinah) yang ada, sejauh pengamatan penulis dari refrensi-refrensi yang kami sebutkan sebelumnya, belum penulis temukan tafsiran sighot tersebut yang diartikan haram.

            3-Dalam kitab Nihayah az-ZainFathu al-‘Allam dan Busyro al-Karim redaksi yang ada justru menjelaskan bahwa pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar) hukumnya adalah sunnah. Dengan demikian, bila hal itu tetap dilakukan tentunya tidak sampai pada tataran hukum haram. Lebih terang lagi redaksi yang dipakai oleh kitab as-Syarqawi, redaksi kitab Ihya’ yang berbunyi لا يَنْبَغِي diartikan dengan يُسَنُّ ... disunnahkan ..., atau sebagaimana redaksinya kitab Busyro al-Karīm نُدِبَ yang artinya juga ...disunnahkan. Ketegasan pernyataan sunnah agar supaya tidak mencukur rambut dan memotong kuku sebelum mandi wajib, juga kami temukan di dalam kitab “al-Fiqh ‘ala al-Madzāhib al-Arba’ah”, pada saat memaparkan pendapat ulama Syafi’iyyah tentang kesunahan-kesunahan mandi.

            4-Dari data-data yang kami kumpulkan, sebagaimana yang telah kami paparkan di atas, belum kami temukan keterangan yang menyatakan keharaman pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar). Sebaliknya, yang kami temukan adalah keterangan-keterangan yang menjelaskan hukum makruh―sebagaimana dalam pandangan ulama madzhab 

            Hanafi―atau boleh (mubah) secara mutlak―sebagaimana pandangan ulama madzhab Hambali dan fatwa-fatwa ulama kontemporer―dengan memandang hukum asalnya. 
            Atau redaksi-redaksi yang menyatakan ke-sunahan untuk tidak melakukan pemotongan semisal kuku, rambut atau mengeluarkan darah dalam kondsi junub (hadats besar), sebagaimana kami temukan dalam kitab Hāsiyah as-Syarqāwi (juz: 01, hal: 79), Fathu al-‘Allām (juz: 01, hal: 339), Busyro al-Karīm (juz: 01, hal: 39), dan Nihāyah az-Zain (hal: 31). Data-data yang kami suguhkan dari selain madzhab Syafi’i memang harus kami akui bila tidak seberapa. Dengan begitu, kesimpulan yang kami ambil tentunya masih membuka pintu dan ruang lebar adanya diskusi berkelanjutan ke depan.

            5-Walaupun kesimpulan kajian kita ini tidak sampai menyatakan keharaman dari tindakan tersebut, adalah bijaksana bila kita mengambil sikap kehati-kehatian dalam hal ini. Dalam arti mencukur rambut, atau memotong kuku atau yang semisalnya, selagi masih dimungkinkan untuk dilakukan sehabis mandi besar adalah lebih baik untuk ditunda terlebih dulu. Lain halnya menyisir rambut yang kusam, tentu untuk yang satu ini tanpa harus menunggu sehabis mandi besar.

            6-Keterangan yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’nya memang tidak sedikit yang menyangsikannya atau mengkritiknya. Memang, bila ditinjau dari kajian ilmiyah kontemporer pernyataan semacam itu rentan dari kritikan, karena memang tidak disertai dengan dalil pijakan yang menguatkannya (melegitimasi). Dan bila dilacak sumber-sumber hadits yang menjelaskannya, yang ada justru hadits-hadits yang dlo’if atau bahkan dinilai maudlu’. Kendatipun demikian, kita tidak dibenarkan bersikap tidak sopan pada sosok ulama seperti beliau Imam al-Ghazali, dengan mencemooh atau sikap-sikap kurang ajar lainnya. Sebab sikap buruk ini di samping kontrproduktif dan tidak ilmiyah di satu sisi, juga merupakan prilaku yang tidak selaras dengan budi pekerti mulia (akhlak karimah) di sisi yang lain.

            Terimakasih untuk refrensi nya :
            -PP.MUS
            -Ustadz
            -Teman
            -dan situs website lain nya

            Semoga bermanfaat :)

            3 comments